POLIGAMI/POLIGINI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DOI:
https://doi.org/10.33592/islamika.v13i2.345Keywords:
Marriage, Polygamy, Marriage Law, polygamy law.Abstract
Abstract
Marriage is formed to create a harmonious, happy, and prosperous family (sakinah, mawaddah, and rahmah). Polygyny or better known as polygamy has always been a subject of fiqh which has always been excellent among fiqh experts and researchers of Islamic law. This form of polygamy is well known among medes, babylonia, abyssinia, and Persians. The Prophet Muhammad allowed polygamy among his people because it was also practiced by the Greeks, among whom even a wife could not only be exchanged but could also be traded commonly among them. Australia and Mormons in America. Even Hinduism in India does not prohibit polygamy. The jahiliyyah Arabs married a number of women and regarded them as possessions, even in large part, especially as they were not part of a marriage because the women could be brought, owned and sold as they pleased. Polygamy becomes an emergency exit for a husband who has been established in household mahligai as a protection against adultery.
Â
Abstrak
Perkawinan dibentuk untuk menciptakan keluarga yang bernuansa harmonis, bahagia, dan sejahtera, (sakinah, mawaddah, dan rahmah). Poligini atau lebih dikenal dengan istilah poligami senantiasa menjadi bahasan fiqih yang selalu menjadi primadona dikalangan para ahli fiqih dan para peneliti hukum Islam. Bentuk poligami telah dikenal diantara orang-orang medes, babilonia, abesinia, dan Persia. Nabi Muhammad SAW membolehkan poligami diantara masyarakatnya karena telah dipraktekkan juga oleh orang-orang yunani yang diantaranya bahkan seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga dapat diperjual belikan secara lazim diantara mereka. Australia serta mormon di Amerika. Bahkan ajaran hindu di India tidak melarang poligami. Orang-orang arab jahiliyyah menikahi sejumlah wanita dan menganggap mereka sebagai barang kepunyaan bahkan dalam sebagian besar khususnya ia bukanlah bagian perkawinan karena para wanita itu dapat dibawa, dimiliki, dan dijual sekehendaknya. Poligami menjadi sebuah emergency exit bagi seorang suami yang telah mapan dalam mahligai rumah tangga sebagai proteksi terhadap perbuatan perzinaan.
References
Al-Maududi, Abu al-A’la, Huquq al-Zawjayni, TT
Al-Syafi’i, Muhammad Ibn Idris, (1980). al-Umm. Dar al-Fikr, Juz V,.
Al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. (1997). Beirut: Dar al-Fikr Juz 9,
Do’i Abdurrahman. (2002). Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariat). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Echols, John M dan Shadily, Hassan. 1995. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Hamka, Tafsir al-Azhar. (1982). Jakarta: Pustaka Panjimas,
Hasyim, Syafiq.( 2001). Hal-Hal Yang Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam. Bandung: Mizan
Jalaludin al-Syuthi, al- Asbah wa al-Nazhair, (2000). Semarang: Toha Putra
Mas’ud Muhamad, (2018). Ilmu Fiqih dan Aplikasinya, Bandung: Pustaka Rahmat
---------------------, (2017). Ushul Fiqih Konsep dan Pengembangan Metodologi Hukum Islam
Nasution, Khoiruddin. (1996). Riba dan Poligami: Studi Kritis Atas Pemikiran
Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Vol 4, Beirut: Dar al Ma’arifah.
Syaraf, Musa Shalih. (1997). Fatwa-Fatwa Kontemporer Tentang Problematika Wanita. Jakarta: Pustaka Firdaus