PROFESIONALISME GURU PAI DAN KESADARAN BERAGAMA SISWA

Authors

DOI:

https://doi.org/10.33592/islamika.v11i1.421

Keywords:

Profesionalisme, guru, kesadaran

Abstract

Ada tiga kriteria suatu pekerjaan profesional, yaitu mengandung unsur pengabdian, unsur idealisme, dan unsur pengembangan. Khusus untuk profesionalisme guru PAI, ketiga unsur tersebut harus melekat dalam jiwa keguruannya, yakni dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya berdasarkan ketentuan-ketentuan itu. Jika ia mangkir dari tugas dan kewajiban, maka ia dipandang telah melanggar etika profesi. Sebagai guru PAI yang profesional, ia harus memiliki kepribadian dan budi pekerti  luhur yang dapat mendorong para siswanya, terutama siswa yang beragama Islam untuk  mengamalkan ilmu yang diajarkannya  sehingga ia dapat dijadikan sebagai panutan/teladan

 

References

Iklim pemikiran semacam ini lahir karena “keasyik-masyukan†manusia modern dengan penciptaan sains-sains yang tidak berdasarkan ‘cahaya intelek’, yaitu yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada ‘aql’ dan dapat memperoleh pengetahuan langsung dan segera. Sedangkan ‘aql’ hanya merupakan bayangan intelek di dalam cermin pikiran manusia. Lih., Syed Hossein Nasr, “Manusia Barat Kontemporer diantara Pinggir dan Aksis Lingkaran Eksistensiâ€, dalam, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (terj. Anas Mahyuddin), Bandung, Pustaka Salman ITB, 1983, Cet. I, h. 3-4.

Fritzof Schuon, Memahami Islam, (terj. Anas Mahyuddin), Pustaka Salman ITB, 1983, Cet. I, h. 1-2.

Agama otentik dimaksud Nasr, adalah agama yang mengandung ‘tradisi-tradisi suci’ di dalamnya, yakni serangkaian prinsip yang telah diturunkan dari langit yang ditandai oleh suatu manifestasi Ilahi beserta dengan penyerapan dan penyiaran prinsip-prinsip itu. Kesucian agama itu berasal dari Yang Maha Suci, sehingga bersifat suci pula. Lih., Syed Hossein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, (terj. Abdul Hadi WM.), Jakarta, Pustaka Firdaus, 1985, Cet. I, h. 199.

Syed Hossein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, h. 200.

Abu al-Wafa al-Ghanimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (terj. Ahmad Rofi’ Utsmani), Bandung, Pustaka, 1985, Cet. I, h. 94.

Syari’ah merupakan ‘jalan kehidupan yang baik’ yang berisi nilai-nilai kegamaan Islam atau ajaran Islam dalam bentuknya yang menyeluruh. Syari’ah berhubungan dengan agama, dan karenanya identik dengan Dinul Islam. Lih., Fazlur Rahman, Islam, (Ed. Indonesia), Jakarta, Bina Aksara, 1987, Cet. I, h. 157-158.

Keshalehan Personal berkaitan erat dengan kedisiplinan beribadah dalam artinya yang luas, sedangkan keshalehan sosial menyangkut masalah hubungan individu dengan masyarakat dalam bentuk kedisiplinan bermu’amalah dalam rangka ibadah kepada Allah Swt.

Dua kecenderungan sebagai fithrah manusia adalah kecenderungan tidak taat/menyimpang dari peraturan/perintah, dan kecenderungan berbuat taat, mematuhi perintah dan peraturan. Hal ini telah digariskan Allah dalam al-Qur’an (asy-Syams : 7-10).

Penjabaran dari nilai dan norma ajaran Islam (Syari’ah), menurut Mahmud Syaltout, seperti dikutip Abuddin Nata, meliputi tiga bidang; Aqidah, Ibadah, dan Akhlaq. Aqidah berarti mengikatkan dan simpulan atau ikatan iman, Ibadah berarti menyembah, menurut, dan merendahkan diri dengan segala kepatuhan/ketundukan, dan Akhlaq dapat diartikan sebagai perbuatan yang sudah meresap, terpatri, dan menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Pertautan antara Aqidah, Ibadah, dan Akhlaq adalah sangat erat dan tak terpisahkan, yang ketiganya mutlak harus dinyatakan dalam keimanan seorang muslim sehingga melahirkan manfaat dari keberagamaannya. Lih., Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1995, Cet. IV, h. 29-50.

Fusuq ialah perilaku dosa besar. Pelaku dosa besar tersebut adalah fasiq. Lih., Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Jakarta, Beunebi Cipta, 1987, Cet. I, h. 97.

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, Ed. Revisi, h. 219.

Manusia mempunyai pilihan, apakah ia mau dan mampu mensucikan dirinya sehingga ia beruntung, ataukah ia enggan dan tidak mampu sehingga mengotori dirinya dan merugi (Qs: As-Syams: 9-10).

Pendidikan Islam dalam pengertian sebenarnya, menurut Ibrahimmy, sebagaimana dikutip Abuddin Nata, adalah suatu sistem pendidikan yang menginginkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga ia dengan mudah dapat membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan ajaran Islam. Lih., Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta, Grasindo, 2001, h. 135.

Ketiga dasar ini merupakan syarat utama yang harus dimiliki oleh setiap muslim untuk mencapai peribadatan dan pengabdian yang sempurna. Senantiasa taat, tunduk dan patuh kepada Allah serta tetap berada dalam garis-garis ketentuan. Mengerjakan segala apa yang diperintah Allah dan meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya. Khusus untuk konsep ihsan, menurut Ari Ginanjar, bahwa di dalam konsep ini terkandung segala kualitas yang bermakna positif dan bernuansa keindahan, seperti kebajikan, kejujuran, adil, dan lain-lain. Melalui konsep ini pula manusia berkewajiban mengerjakan sesuatu yang indah dalam berhubungan dengan Allah dan makhluk lainnya. Lih., Hasan Yusri, Rahasia dari Sudut Tasawuf, Surabaya, Bina Ilmu, 1986, Cet. I, h. 41-42. Bdk., Ari Ginanjar Agustian, ESQ Power, Jakarta, Arga, 2005, Cet. VII, h. 32.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1994, Cet. I, h. 204-207.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1994, seri INIS-XX, h. 1-2.

Hadi Setia Tunggal, (Penghimpun), Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Jakarta, Harvarindo, 2003, h. 3.

Hadi Setia Tunggal, (Penghimpun), Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, h. 19-20.

Purwadarminta, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, Cet. IV, h. 6.

Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Bandung, Mizan, 1986, Cet. I, h. 26.

Jalaludin Rahmat,Islam Alternatiif, h. 26.

Sikap keagamaan yang menyimpang merupakan sikap yang terjadi pada diri seseorang yang mengalami perubahan terhadap keprcayaan dan keyakinan agama yang dianutnya, atau mengalami konversi agama. Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2005, h. 219. Bdk., Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 2003, Cet. XVI, h. 161.

Darwis Hude, “Ungkapan Emosi Senang dalam al-Qur’anâ€, dalam, al-Burhan, Institut PTIQ Jakarta, 2003, No. 5, h. 24-25.

Dikutip dari, Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin, Jakarta, Pustaka Atisa, 1992, Cet. IV, h. 61.

Darwis Hude, dalam, al-Burhan, h. 25. Bdk. Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin, h. 61.

Qs. Ar-Rum: 30.

Qs. As-Sajdah: 9.

Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta, Kalam Mulia, 2007, Cet. VIII, h. 96.

Ramayulis, Psikologi Agama, hal. 96-97.

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, Cet. IV, h. 56.

Harun Nasution,, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 62-63.

Mengenai jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh sufi ternyata berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman pribadi sufi yang melakukannya. Atas dasar ini, jelas seorang sufi akan berbeda jumlah maqamatnya dengan seorang sufi yang lain. Dari beberapa buku tasawuf, maqamat tersebut sering dimulai dari tahap taubat dan diakhiri dengan tahap ma’rifat, bahkan ada yang lebih dari tahap itu. Harun Nasution merunut 8 maqamat; taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakal, ridha, mahabbah, dan ma’rifah. Harun Nasution, “Kedudukan Tasawuf dalam Islamâ€, dalam, kumpulan makalah seminar, Tasawuf, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1987, h. 10-12.

Harun Nasution, Tasawuf, h.11.

Hadarah Rajab, Akhlak Sufi, Jakarta, Mawardi Prima, 2004, Cet. II, h. 121.

Hasan Yusri, Rahasia Dari Sudut Tasawuf, h. 163-164.

Ramayulis, Psikologi Agama, h. 81.

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, h. 81-89.

Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, h. 229.

Qs. al-Ahzab : 21.

M. Basyiruddin Usman dan Asnawir,†Media Pendidikan Agamaâ€,dalam, Departemen Agama RI, Media Pembelajaran, Jakarta, Delia Citra Utama, 2002, h. 116.

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, h. 124.

Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta, Bulan Bintang, 1991, Cet. VI, h. 31-32.

Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, h. 230-231.

Abdullah Gymnastiar, Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qalbu, Jakarta, Gema Insani Press, 2005, Cet. V, h. 27-28.

Qs. Ibrahim : 24 dan Ar-Ra’du : 28.

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya, Bina Ilmu, 2007, h. 95.

Ahmad Tafsir, Filasafat Pendidikan Islami, h. 232.

Hasan Yusri, Rahasia Dari Sudut Tasawuf, h. 152- 163.

Zaid Husein al-Hamid (Penterjemah), Ringkasan Ihya’ Ulumuddin (terj. dari, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin), Jakarta, Pustaka Amani, 1995, Cet. I, h. 59.

Klasifikasi ini dibuat berdasarkan pemahaman (mafhum) terhadap hadits dari Abi Hurairah r.a., dari Rasulullah Saw. bersabda : “Kelakuan umroh sampai umroh yang akan datang merupakan tebusan dosa yang terjadi diantara kedua umroh itu, dan haji mambrur itu tidak ada balasannya selain surga.†(Bukhari-Muslim). Dalam, Salim Bahreisy (penterjemah), Tarjamah Riadhus Shalihin, Bandung, Al-Ma’arif, 1985, Jilid. II, Cet. IX, h. 263.

Qs. al-Bayyinah : 5.

Qs. al-Ma’un : 6.

Hasan Yusri, Rahasia dari Sudut Tasawuf, h. 131.

Downloads

Published

2020-01-30